— dan bukan karena duit.
Pernah simpen foto pantai bening, pulau tersembunyi, tebing hijau raksasa, terus bilang ke diri sendiri:
“Gue harus ke sini sebelum umur 30.”
Sekarang coba pikir lagi:
Kalau tempat itu ternyata udah rusak duluan?
Atau bahkan udah ga bisa dikunjungi lagi karena dibabat habis?
Mungkin sekarang lo lagi sibuk kerja lembur, kuliah full, atau sekadar bertahan hidup. Tapi di luar sana, beberapa tempat indah yang lo jadikan wallpaper dan mimpi healing — lagi dihancurkan pelan-pelan.
Bukan sama waktu. Tapi sama izin eksplorasi. Sama alat berat. Sama keserakahan yang dibungkus kata “kemajuan”.
Tanahnya dilucuti. Lautnya jadi abu-abu. Udara yang harusnya segar, sekarang dicemari. Semua ini terjadi sementara lo sibuk cari promo tiket.
Sayangnya enggak.
Beberapa udah mulai ditutup. Beberapa udah rusak.
Dan beberapa… bahkan belum sempat lo kunjungi, udah hilang dari peta pariwisata.
Bahkan kalau lo punya uang dan waktu, bisa jadi yang lo temui cuma bekas. Bekas keindahan yang tinggal nama.
Lo bisa beli skincare buat glowing.
Tapi lo nggak bisa beli kembali pulau yang udah rusak.
Lo bisa cari villa buat staycation.
Tapi lo nggak bisa bangun ulang laut yang udah dibor dan ditambang.
Kita sibuk cari ketenangan, tapi diem aja pas ketenangan alam dirusak depan mata.
Kalau kita nggak sadar sekarang,
semua yang lo anggap "bucket list tempat healing"
bisa jadi cuma nostalgia.
Sesuatu yang lo ceritain ke anak lo kayak,
"Dulu ini cantik banget, tapi sekarang udah rusak..."
Dan kalau lo ngerasa sedih, kecewa, atau bahkan marah ngeliat tempat-tempat indah itu satu-satu hilang — itu valid.
Psikolog menyebut ini environmental grief, atau duka ekologis.
Bukan lebay. Bukan mellow. Tapi bentuk nyata dari kehilangan.
Dalam jurnal From ecological grief to mental health resilience (Cunsolo & Ellis, 2018), disebutkan bahwa kehilangan lanskap alami yang kita cintai bisa menimbulkan respons psikologis serupa dengan kehilangan seseorang: rasa hampa, kehilangan makna, sampai kecemasan eksistensial. Terutama saat alam itu punya makna emosional — entah karena kenangan, identitas, atau sekadar jadi "tempat kabur" saat dunia terasa terlalu ramai.
Buat banyak orang, tempat itu bukan sekadar tujuan wisata. Tapi tempat untuk bernafas di tengah sesak rutinitas. Tempat yang diam-diam kita andalkan biar tetap waras. Jadi waktu tempat itu rusak, yang hilang bukan cuma pemandangan. Tapi juga ruang aman — yang bahkan belum sempat kita kunjungi.