Pernah curhat soal mental health, terus dibalas: “Makanya, kamu kurang ibadah.”
Rasanya gimana? Nyesek, ya?
Buat banyak orang, terutama Gen Z yang makin terbuka soal kesehatan mental, saran kayak gini kadang terasa... nggak nyambung. Tapi, apakah saran “perbanyak ibadah” itu salah total? Atau emang ada gunanya?
Yuk, kita bahas tanpa nge-judge.
Depresi bukan cuma soal bad mood. Ini permasalahan yang nyata, dengan beberapa gejala seperti gangguan tidur, perubahan nafsu makan, kelelahan kronis, sulit berkonsentrasi, hingga pikiran untuk mengakhiri hidup.
“Lagi banyak pikiran” beda sama “nggak bisa ngerasain apa pun selama berminggu-minggu.”
Kalau kamu atau teman kamu lagi ngalamin ini, butuh bantuan profesional. Bukan sekadar disuruh “sholat yang rajin” atau “zikir tiap malam”.
Buat banyak orang, ibadah bisa jadi sumber ketenangan dan ruang refleksi diri.
Tapi...
Ibadah bukan solusi tunggal.
Kayak minum air putih pas demam — membantu, tapi bukan satu-satunya obat. Terapi, support system, dan self-care tetap penting banget.
Bayangin lagi struggling berat, terus dibilang:
“Kamu depresi karena jauh dari Tuhan.”
Bisa bikin makin drop, kan?
Alih-alih bikin sembuh, saran kayak gini justru bisa bikin orang merasa gagal, berdosa, atau makin nutup diri.
Kalau kamu pengen bantu teman yang lagi depresi:
Refleksi: “Kenapa Gue Mengejar Ini?”
Normalisasi Istirahat
Redefinisi Sukses
Ibadah bisa jadi bagian dari proses pulih,
tapi jangan dijadiin satu-satunya jawaban.
Kesehatan mental itu kompleks. Butuh pendekatan yang manusiawi, bukan hanya rohani.
Kalau kamu lagi ngerasa nggak baik-baik aja, nggak apa-apa minta bantuan. Dan kalau kamu temenin orang yang lagi struggling, temani dia dengan empati, bukan asumsi.